Minggu, 17 Mei 2020

vclass Pertemuan ke-2 Manajemen Layanan SI 2ka09

         Financial Technology atau lebih dikenal dengan istilah Fintech merupakan hal yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebetulnya apa definisi Fintech tersebut ? Menurut National Digital Research Centre yang ada di Dublin, Fintech adalah “innovation in financial services” atau “inovasi dalam layanan keuangan”. Mengapa disebut sebagai inovasi? Karena dengan adanya layanan Fintech masyarakat dapat lebih mudah untuk mengakses produk-produk keuangan, mempermudah dalam melakukan transaksi, dan juga meningkatkan literasi keuangan. Contohnya seperti ini kalau dulu untuk membeli barang atau layanan dari luar negeri harus menggunakan layanan wire transfer, western union, dan kartu kredit. Namun, kini cukup menggunakan layanan semacam paypal untuk membayar barang atau layanan yang kita beli dari penyedia yang ada di luar Indonesia. Bisnis Fintech ini sudah mulai berkembang dan mulai dilirik oleh banyak pihak, bahkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Accenture menyebutkan bahwa investasi global dalam bisnis Fintech ini naik hingga tiga kali lipat dan diperkirakan akan terus naik.
Fintech di negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki penetrasi keuangan sebesar 35,8% (World Bank,2014) dapat mengambil peran dalam mempercepat perluasan jangkauan layanan keuangan kepada masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Selain peran dalam mempercepat perluasan layanan keuangan, Fintech juga berperan menciptakan solusi dalam menekan biaya dan waktu penyediaan layanan keuangan. Bank Indonesia mencatat nilai transaksi fintech di Indonesia diperkirakan mencapai US$14,5 miliar atau 0,6 persen dari total nilai transaksi global yang diperkirakan mencapai US$2.355,9 miliar. Dalam peta regulasi, bank Indonesia mengelompokan empat kategori utama bisnis fintech, yakni pertama, payment, clearing, settlement. Kedua, deposit, lending, capital raising. Ketiga, market provisioning, dan keempat, investment and risk management. Sejak muncul pertama kali hingga saat ini, pangsa pasar aktivitas Fintech di Indonesia masih didominasi sebesar 56 persen oleh kelompok pertama atau payment, clearing, settlement.
Saat ini kita berada pada era fintech 3.0, dimana banyak perusahaan-perusahaan rintisan (startup) yang berdiri di bidang keuangan dan transaksi keuangan. Hampir sama dengan bank konvensional, beberapa dari mereka bahkan memiliki sistem pembayaran sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui di Indonesia ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang salah satu tugasnya adalah untuk mengawasi industri jasa keuangan yang ada di Indonesia termasuk didalamnya Fintech. OJk telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) 28 Desember 2016 lalu. Melalui peraturan ini, diharapkan akan ada pertumbuhan industri LPMUBTI atau fintech peer to peer (P2P) lending sebagai alternatif sumber pembiayaan baru bagi masyarakat selain dari jasa keuangan konvensional. Starup fintech wajib memiliki modal awal minimal sebesar Rp1 miliar, dan setelah mendaftarkan perusahaannya ke OJK, startup tersebut wajib menambah modalnya menjadi Rp2,5 miliar. Sampai saat ini, baru ada 135 perusahaan fintech yang tercatat oleh OJK beroperasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut diberikan waktu sampai dengan enam bulan untuk mendaftarkan perusahaannya ke OJK, dengan terdaftar maka perusahaan yang bergerak di fintech tersebut dapat memasang logo terdaftar dan diawasi oleh OJK seperti lembaga keuangan konvensional. Dengan adanya logo tersebut maka diharapkan membuat masyarakat sebagai pengguna layanan menjadi semakin yakin dan merasa aman untuk menggunakan layanan fintech.
Perlu diketahui juga bahwa dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 juga terdapat larangan bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang fintech untuk menarik dana dari nasabah dalam bentuk simpanan sebagai sumber dana bisnis penyaluran pinjaman mereka. Perusahaan fintech ini diberikan izin oleh OJK untuk menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang dari pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman (peer to peer lending) dengan maksimal pinjaman sebesar Rp2 miliar untuk setiap debitur.
Financial Technology memiliki tujuan untuk memudahkan kita sebagai pengguna dalam mengakses layanan keuangan. Selain itu, dengan memanfaatkan layanan fintech kita telah mendukung program Gerakan Nasional Non Tunai dari pemerintah karena dengan memanfaatkan layanan fintech kita telah secara sadar menggunakan instrumen non tunai dalam melakukan transaksi atas kegiatan ekonomi kita.


Financial Technology atau lebih dikenal dengan istilah Fintech merupakan hal yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebetulnya apa definisi Fintech tersebut ? Menurut National Digital Research Centre yang ada di Dublin, Fintech adalah “innovation in financial services” atau “inovasi dalam layanan keuangan”. Mengapa disebut sebagai inovasi? Karena dengan adanya layanan Fintech masyarakat dapat lebih mudah untuk mengakses produk-produk keuangan, mempermudah dalam melakukan transaksi, dan juga meningkatkan literasi keuangan. Contohnya seperti ini kalau dulu untuk membeli barang atau layanan dari luar negeri harus menggunakan layanan wire transfer, western union, dan kartu kredit. Namun, kini cukup menggunakan layanan semacam paypal untuk membayar barang atau layanan yang kita beli dari penyedia yang ada di luar Indonesia. Bisnis Fintech ini sudah mulai berkembang dan mulai dilirik oleh banyak pihak, bahkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Accenture menyebutkan bahwa investasi global dalam bisnis Fintech ini naik hingga tiga kali lipat dan diperkirakan akan terus naik.
Fintech di negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki penetrasi keuangan sebesar 35,8% (World Bank,2014) dapat mengambil peran dalam mempercepat perluasan jangkauan layanan keuangan kepada masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Selain peran dalam mempercepat perluasan layanan keuangan, Fintech juga berperan menciptakan solusi dalam menekan biaya dan waktu penyediaan layanan keuangan. Bank Indonesia mencatat nilai transaksi fintech di Indonesia diperkirakan mencapai US$14,5 miliar atau 0,6 persen dari total nilai transaksi global yang diperkirakan mencapai US$2.355,9 miliar. Dalam peta regulasi, bank Indonesia mengelompokan empat kategori utama bisnis fintech, yakni pertama, payment, clearing, settlement. Kedua, deposit, lending, capital raising. Ketiga, market provisioning, dan keempat, investment and risk management. Sejak muncul pertama kali hingga saat ini, pangsa pasar aktivitas Fintech di Indonesia masih didominasi sebesar 56 persen oleh kelompok pertama atau payment, clearing, settlement.
Saat ini kita berada pada era fintech 3.0, dimana banyak perusahaan-perusahaan rintisan (startup) yang berdiri di bidang keuangan dan transaksi keuangan. Hampir sama dengan bank konvensional, beberapa dari mereka bahkan memiliki sistem pembayaran sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui di Indonesia ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang salah satu tugasnya adalah untuk mengawasi industri jasa keuangan yang ada di Indonesia termasuk didalamnya Fintech. OJk telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) 28 Desember 2016 lalu. Melalui peraturan ini, diharapkan akan ada pertumbuhan industri LPMUBTI atau fintech peer to peer (P2P) lending sebagai alternatif sumber pembiayaan baru bagi masyarakat selain dari jasa keuangan konvensional. Starup fintech wajib memiliki modal awal minimal sebesar Rp1 miliar, dan setelah mendaftarkan perusahaannya ke OJK, startup tersebut wajib menambah modalnya menjadi Rp2,5 miliar. Sampai saat ini, baru ada 135 perusahaan fintech yang tercatat oleh OJK beroperasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut diberikan waktu sampai dengan enam bulan untuk mendaftarkan perusahaannya ke OJK, dengan terdaftar maka perusahaan yang bergerak di fintech tersebut dapat memasang logo terdaftar dan diawasi oleh OJK seperti lembaga keuangan konvensional. Dengan adanya logo tersebut maka diharapkan membuat masyarakat sebagai pengguna layanan menjadi semakin yakin dan merasa aman untuk menggunakan layanan fintech.
Perlu diketahui juga bahwa dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 juga terdapat larangan bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang fintech untuk menarik dana dari nasabah dalam bentuk simpanan sebagai sumber dana bisnis penyaluran pinjaman mereka. Perusahaan fintech ini diberikan izin oleh OJK untuk menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang dari pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman (peer to peer lending) dengan maksimal pinjaman sebesar Rp2 miliar untuk setiap debitur.
Financial Technology memiliki tujuan untuk memudahkan kita sebagai pengguna dalam mengakses layanan keuangan. Selain itu, dengan memanfaatkan layanan fintech kita telah mendukung program Gerakan Nasional Non Tunai dari pemerintah karena dengan memanfaatkan layanan fintech kita telah secara sadar menggunakan instrumen non tunai dalam melakukan transaksi atas kegiatan ekonomi kita.

Financial Technology atau lebih dikenal dengan istilah Fintech merupakan hal yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebetulnya apa definisi Fintech tersebut ? Menurut National Digital Research Centre yang ada di Dublin, Fintech adalah “innovation in financial services” atau “inovasi dalam layanan keuangan”. Mengapa disebut sebagai inovasi? Karena dengan adanya layanan Fintech masyarakat dapat lebih mudah untuk mengakses produk-produk keuangan, mempermudah dalam melakukan transaksi, dan juga meningkatkan literasi keuangan. Contohnya seperti ini kalau dulu untuk membeli barang atau layanan dari luar negeri harus menggunakan layanan wire transfer, western union, dan kartu kredit. Namun, kini cukup menggunakan layanan semacam paypal untuk membayar barang atau layanan yang kita beli dari penyedia yang ada di luar Indonesia. Bisnis Fintech ini sudah mulai berkembang dan mulai dilirik oleh banyak pihak, bahkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Accenture menyebutkan bahwa investasi global dalam bisnis Fintech ini naik hingga tiga kali lipat dan diperkirakan akan terus naik.
Fintech di negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki penetrasi keuangan sebesar 35,8% (World Bank,2014) dapat mengambil peran dalam mempercepat perluasan jangkauan layanan keuangan kepada masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Selain peran dalam mempercepat perluasan layanan keuangan, Fintech juga berperan menciptakan solusi dalam menekan biaya dan waktu penyediaan layanan keuangan. Bank Indonesia mencatat nilai transaksi fintech di Indonesia diperkirakan mencapai US$14,5 miliar atau 0,6 persen dari total nilai transaksi global yang diperkirakan mencapai US$2.355,9 miliar. Dalam peta regulasi, bank Indonesia mengelompokan empat kategori utama bisnis fintech, yakni pertama, payment, clearing, settlement. Kedua, deposit, lending, capital raising. Ketiga, market provisioning, dan keempat, investment and risk management. Sejak muncul pertama kali hingga saat ini, pangsa pasar aktivitas Fintech di Indonesia masih didominasi sebesar 56 persen oleh kelompok pertama atau payment, clearing, settlement.
Saat ini kita berada pada era fintech 3.0, dimana banyak perusahaan-perusahaan rintisan (startup) yang berdiri di bidang keuangan dan transaksi keuangan. Hampir sama dengan bank konvensional, beberapa dari mereka bahkan memiliki sistem pembayaran sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui di Indonesia ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang salah satu tugasnya adalah untuk mengawasi industri jasa keuangan yang ada di Indonesia termasuk didalamnya Fintech. OJk telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) 28 Desember 2016 lalu. Melalui peraturan ini, diharapkan akan ada pertumbuhan industri LPMUBTI atau fintech peer to peer (P2P) lending sebagai alternatif sumber pembiayaan baru bagi masyarakat selain dari jasa keuangan konvensional. Starup fintech wajib memiliki modal awal minimal sebesar Rp1 miliar, dan setelah mendaftarkan perusahaannya ke OJK, startup tersebut wajib menambah modalnya menjadi Rp2,5 miliar. Sampai saat ini, baru ada 135 perusahaan fintech yang tercatat oleh OJK beroperasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut diberikan waktu sampai dengan enam bulan untuk mendaftarkan perusahaannya ke OJK, dengan terdaftar maka perusahaan yang bergerak di fintech tersebut dapat memasang logo terdaftar dan diawasi oleh OJK seperti lembaga keuangan konvensional. Dengan adanya logo tersebut maka diharapkan membuat masyarakat sebagai pengguna layanan menjadi semakin yakin dan merasa aman untuk menggunakan layanan fintech.
Perlu diketahui juga bahwa dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 juga terdapat larangan bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang fintech untuk menarik dana dari nasabah dalam bentuk simpanan sebagai sumber dana bisnis penyaluran pinjaman mereka. Perusahaan fintech ini diberikan izin oleh OJK untuk menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang dari pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman (peer to peer lending) dengan maksimal pinjaman sebesar Rp2 miliar untuk setiap debitur.
Financial Technology memiliki tujuan untuk memudahkan kita sebagai pengguna dalam mengakses layanan keuangan. Selain itu, dengan memanfaatkan layanan fintech kita telah mendukung program Gerakan Nasional Non Tunai dari pemerintah karena dengan memanfaatkan layanan fintech kita telah secara sadar menggunakan instrumen non tunai dalam melakukan transaksi atas kegiatan ekonomi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar