Financial
Technology atau lebih dikenal dengan istilah Fintech merupakan hal yang
sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebetulnya apa definisi Fintech
tersebut ? Menurut National Digital Research Centre yang ada di Dublin,
Fintech adalah “innovation in financial services” atau “inovasi dalam
layanan keuangan”. Mengapa disebut sebagai inovasi? Karena dengan adanya
layanan Fintech masyarakat dapat lebih mudah untuk mengakses
produk-produk keuangan, mempermudah dalam melakukan transaksi, dan juga
meningkatkan literasi keuangan. Contohnya seperti ini kalau dulu untuk
membeli barang atau layanan dari luar negeri harus menggunakan layanan
wire transfer, western union, dan kartu kredit. Namun, kini cukup
menggunakan layanan semacam paypal untuk membayar barang atau layanan
yang kita beli dari penyedia yang ada di luar Indonesia. Bisnis Fintech
ini sudah mulai berkembang dan mulai dilirik oleh banyak pihak, bahkan
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Accenture menyebutkan bahwa
investasi global dalam bisnis Fintech ini naik hingga tiga kali lipat
dan diperkirakan akan terus naik.
Fintech di negara berkembang seperti
Indonesia yang memiliki penetrasi keuangan sebesar 35,8% (World
Bank,2014) dapat mengambil peran dalam mempercepat perluasan jangkauan
layanan keuangan kepada masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia.
Selain peran dalam mempercepat perluasan layanan keuangan, Fintech juga
berperan menciptakan solusi dalam menekan biaya dan waktu penyediaan
layanan keuangan. Bank Indonesia mencatat nilai transaksi fintech di
Indonesia diperkirakan mencapai US$14,5 miliar atau 0,6 persen dari
total nilai transaksi global yang diperkirakan mencapai US$2.355,9
miliar. Dalam peta regulasi, bank Indonesia mengelompokan empat kategori
utama bisnis fintech, yakni pertama, payment, clearing, settlement.
Kedua, deposit, lending, capital raising. Ketiga, market provisioning,
dan keempat, investment and risk management. Sejak muncul pertama kali
hingga saat ini, pangsa pasar aktivitas Fintech di Indonesia masih
didominasi sebesar 56 persen oleh kelompok pertama atau payment,
clearing, settlement.
Saat ini kita berada pada era fintech
3.0, dimana banyak perusahaan-perusahaan rintisan (startup) yang berdiri
di bidang keuangan dan transaksi keuangan. Hampir sama dengan bank
konvensional, beberapa dari mereka bahkan memiliki sistem pembayaran
sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui di Indonesia ada Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang salah satu tugasnya adalah untuk mengawasi industri
jasa keuangan yang ada di Indonesia termasuk didalamnya Fintech. OJk
telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi (LPMUBTI) 28 Desember 2016 lalu. Melalui peraturan ini,
diharapkan akan ada pertumbuhan industri LPMUBTI atau fintech peer to
peer (P2P) lending sebagai alternatif sumber pembiayaan baru bagi
masyarakat selain dari jasa keuangan konvensional. Starup fintech wajib
memiliki modal awal minimal sebesar Rp1 miliar, dan setelah mendaftarkan
perusahaannya ke OJK, startup tersebut wajib menambah modalnya menjadi
Rp2,5 miliar. Sampai saat ini, baru ada 135 perusahaan fintech yang
tercatat oleh OJK beroperasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan
tersebut diberikan waktu sampai dengan enam bulan untuk mendaftarkan
perusahaannya ke OJK, dengan terdaftar maka perusahaan yang bergerak di
fintech tersebut dapat memasang logo terdaftar dan diawasi oleh OJK
seperti lembaga keuangan konvensional. Dengan adanya logo tersebut maka
diharapkan membuat masyarakat sebagai pengguna layanan menjadi semakin
yakin dan merasa aman untuk menggunakan layanan fintech.
Perlu diketahui juga bahwa dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 juga
terdapat larangan bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang
fintech untuk menarik dana dari nasabah dalam bentuk simpanan sebagai
sumber dana bisnis penyaluran pinjaman mereka. Perusahaan fintech ini
diberikan izin oleh OJK untuk menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan
layanan pinjam meminjam uang dari pemberi pinjaman kepada penerima
pinjaman (peer to peer lending) dengan maksimal pinjaman sebesar Rp2
miliar untuk setiap debitur.
Financial Technology memiliki tujuan
untuk memudahkan kita sebagai pengguna dalam mengakses layanan keuangan.
Selain itu, dengan memanfaatkan layanan fintech kita telah mendukung
program Gerakan Nasional Non Tunai dari pemerintah karena dengan
memanfaatkan layanan fintech kita telah secara sadar menggunakan
instrumen non tunai dalam melakukan transaksi atas kegiatan ekonomi
kita.
Financial
Technology atau lebih dikenal dengan istilah Fintech merupakan hal yang
sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebetulnya apa definisi Fintech
tersebut ? Menurut National Digital Research Centre yang ada di Dublin,
Fintech adalah “innovation in financial services” atau “inovasi dalam
layanan keuangan”. Mengapa disebut sebagai inovasi? Karena dengan adanya
layanan Fintech masyarakat dapat lebih mudah untuk mengakses
produk-produk keuangan, mempermudah dalam melakukan transaksi, dan juga
meningkatkan literasi keuangan. Contohnya seperti ini kalau dulu untuk
membeli barang atau layanan dari luar negeri harus menggunakan layanan
wire transfer, western union, dan kartu kredit. Namun, kini cukup
menggunakan layanan semacam paypal untuk membayar barang atau layanan
yang kita beli dari penyedia yang ada di luar Indonesia. Bisnis Fintech
ini sudah mulai berkembang dan mulai dilirik oleh banyak pihak, bahkan
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Accenture menyebutkan bahwa
investasi global dalam bisnis Fintech ini naik hingga tiga kali lipat
dan diperkirakan akan terus naik.
Fintech di negara berkembang seperti
Indonesia yang memiliki penetrasi keuangan sebesar 35,8% (World
Bank,2014) dapat mengambil peran dalam mempercepat perluasan jangkauan
layanan keuangan kepada masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia.
Selain peran dalam mempercepat perluasan layanan keuangan, Fintech juga
berperan menciptakan solusi dalam menekan biaya dan waktu penyediaan
layanan keuangan. Bank Indonesia mencatat nilai transaksi fintech di
Indonesia diperkirakan mencapai US$14,5 miliar atau 0,6 persen dari
total nilai transaksi global yang diperkirakan mencapai US$2.355,9
miliar. Dalam peta regulasi, bank Indonesia mengelompokan empat kategori
utama bisnis fintech, yakni pertama, payment, clearing, settlement.
Kedua, deposit, lending, capital raising. Ketiga, market provisioning,
dan keempat, investment and risk management. Sejak muncul pertama kali
hingga saat ini, pangsa pasar aktivitas Fintech di Indonesia masih
didominasi sebesar 56 persen oleh kelompok pertama atau payment,
clearing, settlement.
Saat ini kita berada pada era fintech
3.0, dimana banyak perusahaan-perusahaan rintisan (startup) yang berdiri
di bidang keuangan dan transaksi keuangan. Hampir sama dengan bank
konvensional, beberapa dari mereka bahkan memiliki sistem pembayaran
sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui di Indonesia ada Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang salah satu tugasnya adalah untuk mengawasi industri
jasa keuangan yang ada di Indonesia termasuk didalamnya Fintech. OJk
telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi (LPMUBTI) 28 Desember 2016 lalu. Melalui peraturan ini,
diharapkan akan ada pertumbuhan industri LPMUBTI atau fintech peer to
peer (P2P) lending sebagai alternatif sumber pembiayaan baru bagi
masyarakat selain dari jasa keuangan konvensional. Starup fintech wajib
memiliki modal awal minimal sebesar Rp1 miliar, dan setelah mendaftarkan
perusahaannya ke OJK, startup tersebut wajib menambah modalnya menjadi
Rp2,5 miliar. Sampai saat ini, baru ada 135 perusahaan fintech yang
tercatat oleh OJK beroperasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan
tersebut diberikan waktu sampai dengan enam bulan untuk mendaftarkan
perusahaannya ke OJK, dengan terdaftar maka perusahaan yang bergerak di
fintech tersebut dapat memasang logo terdaftar dan diawasi oleh OJK
seperti lembaga keuangan konvensional. Dengan adanya logo tersebut maka
diharapkan membuat masyarakat sebagai pengguna layanan menjadi semakin
yakin dan merasa aman untuk menggunakan layanan fintech.
Perlu diketahui juga bahwa dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 juga
terdapat larangan bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang
fintech untuk menarik dana dari nasabah dalam bentuk simpanan sebagai
sumber dana bisnis penyaluran pinjaman mereka. Perusahaan fintech ini
diberikan izin oleh OJK untuk menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan
layanan pinjam meminjam uang dari pemberi pinjaman kepada penerima
pinjaman (peer to peer lending) dengan maksimal pinjaman sebesar Rp2
miliar untuk setiap debitur.
Financial Technology memiliki tujuan
untuk memudahkan kita sebagai pengguna dalam mengakses layanan keuangan.
Selain itu, dengan memanfaatkan layanan fintech kita telah mendukung
program Gerakan Nasional Non Tunai dari pemerintah karena dengan
memanfaatkan layanan fintech kita telah secara sadar menggunakan
instrumen non tunai dalam melakukan transaksi atas kegiatan ekonomi
kita.
Financial
Technology atau lebih dikenal dengan istilah Fintech merupakan hal yang
sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebetulnya apa definisi Fintech
tersebut ? Menurut National Digital Research Centre yang ada di Dublin,
Fintech adalah “innovation in financial services” atau “inovasi dalam
layanan keuangan”. Mengapa disebut sebagai inovasi? Karena dengan adanya
layanan Fintech masyarakat dapat lebih mudah untuk mengakses
produk-produk keuangan, mempermudah dalam melakukan transaksi, dan juga
meningkatkan literasi keuangan. Contohnya seperti ini kalau dulu untuk
membeli barang atau layanan dari luar negeri harus menggunakan layanan
wire transfer, western union, dan kartu kredit. Namun, kini cukup
menggunakan layanan semacam paypal untuk membayar barang atau layanan
yang kita beli dari penyedia yang ada di luar Indonesia. Bisnis Fintech
ini sudah mulai berkembang dan mulai dilirik oleh banyak pihak, bahkan
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Accenture menyebutkan bahwa
investasi global dalam bisnis Fintech ini naik hingga tiga kali lipat
dan diperkirakan akan terus naik.
Fintech di negara berkembang seperti
Indonesia yang memiliki penetrasi keuangan sebesar 35,8% (World
Bank,2014) dapat mengambil peran dalam mempercepat perluasan jangkauan
layanan keuangan kepada masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia.
Selain peran dalam mempercepat perluasan layanan keuangan, Fintech juga
berperan menciptakan solusi dalam menekan biaya dan waktu penyediaan
layanan keuangan. Bank Indonesia mencatat nilai transaksi fintech di
Indonesia diperkirakan mencapai US$14,5 miliar atau 0,6 persen dari
total nilai transaksi global yang diperkirakan mencapai US$2.355,9
miliar. Dalam peta regulasi, bank Indonesia mengelompokan empat kategori
utama bisnis fintech, yakni pertama, payment, clearing, settlement.
Kedua, deposit, lending, capital raising. Ketiga, market provisioning,
dan keempat, investment and risk management. Sejak muncul pertama kali
hingga saat ini, pangsa pasar aktivitas Fintech di Indonesia masih
didominasi sebesar 56 persen oleh kelompok pertama atau payment,
clearing, settlement.
Saat ini kita berada pada era fintech
3.0, dimana banyak perusahaan-perusahaan rintisan (startup) yang berdiri
di bidang keuangan dan transaksi keuangan. Hampir sama dengan bank
konvensional, beberapa dari mereka bahkan memiliki sistem pembayaran
sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui di Indonesia ada Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang salah satu tugasnya adalah untuk mengawasi industri
jasa keuangan yang ada di Indonesia termasuk didalamnya Fintech. OJk
telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi (LPMUBTI) 28 Desember 2016 lalu. Melalui peraturan ini,
diharapkan akan ada pertumbuhan industri LPMUBTI atau fintech peer to
peer (P2P) lending sebagai alternatif sumber pembiayaan baru bagi
masyarakat selain dari jasa keuangan konvensional. Starup fintech wajib
memiliki modal awal minimal sebesar Rp1 miliar, dan setelah mendaftarkan
perusahaannya ke OJK, startup tersebut wajib menambah modalnya menjadi
Rp2,5 miliar. Sampai saat ini, baru ada 135 perusahaan fintech yang
tercatat oleh OJK beroperasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan
tersebut diberikan waktu sampai dengan enam bulan untuk mendaftarkan
perusahaannya ke OJK, dengan terdaftar maka perusahaan yang bergerak di
fintech tersebut dapat memasang logo terdaftar dan diawasi oleh OJK
seperti lembaga keuangan konvensional. Dengan adanya logo tersebut maka
diharapkan membuat masyarakat sebagai pengguna layanan menjadi semakin
yakin dan merasa aman untuk menggunakan layanan fintech.
Perlu diketahui juga bahwa dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 juga
terdapat larangan bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang
fintech untuk menarik dana dari nasabah dalam bentuk simpanan sebagai
sumber dana bisnis penyaluran pinjaman mereka. Perusahaan fintech ini
diberikan izin oleh OJK untuk menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan
layanan pinjam meminjam uang dari pemberi pinjaman kepada penerima
pinjaman (peer to peer lending) dengan maksimal pinjaman sebesar Rp2
miliar untuk setiap debitur.
Financial Technology memiliki tujuan
untuk memudahkan kita sebagai pengguna dalam mengakses layanan keuangan.
Selain itu, dengan memanfaatkan layanan fintech kita telah mendukung
program Gerakan Nasional Non Tunai dari pemerintah karena dengan
memanfaatkan layanan fintech kita telah secara sadar menggunakan
instrumen non tunai dalam melakukan transaksi atas kegiatan ekonomi
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar